Rabu, 04 Januari 2017
Catatan di penghujung tahun, tentang hidup dalam keberagaman
Oleh Rini Maghi
Jujur, saya nonMuslim yang pernah masuk ke dalam masjid dengan menggunakan jilbab, pernah mencoba berpuasa di bulan Ramadhan (meskipun gagal) dan pernah pula untuk beberapa waktu memakai jilbab untuk berjalan-jalan dan bertemu dengan orang lain, bahkan dalam pertemuan dan pelatihan. Apakah dalam benak saya pernah selintas berpikir melakukan itu menistakan agama lain? Tidak... tidak pernah terlintas sedikitpun mengenai hal itu. Yang terpikirkan adalah bagaimana menjaga solidaritas dan menghormati keyakinan yang lain.
Bulan Oktober 1997 – Februari 1998, saya mengikuti program pertukaran pemuda Indonesia – Australia, di mana kami tinggal selama dua bulan di Australia Selatan dan dua bulan di Bengkulu. Kegiatan di Bengkulu bertepatan dengan bulan Ramadhan, dan kami, sejumlah 20 orang nonMuslim dari Indonesia dan Australia, bersama teman-teman program yang Muslim, merayakan itu.
Beberapa dari yang nonMuslim mencoba ikut berpuasa bersama ‘orangtua angkat’ tempat kami menginap masing-masing (dua orang di setiap rumah, yang terdiri dari orang Indonesia dan orang Australia/ counterpart). Sesuai dengan tujuannya, program ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat setempat.
Teman-teman dari Australia yang berpasangan dengan sahabat Muslim dari tanah air, cukup antusias mempelajari budaya setempat dan sebagian mencoba ikut berpuasa bersama counterpart dari Indonesia serta tuan rumah, karena mayoritas penduduk di Bengkulu adalah Muslim.
Ada dua orang Australia yang berhasil mengikuti puasa hingga bulan Ramadhan selesai. Mereka sangat bangga dan kami ikut bangga melihatnya. Suatu ketika kami mendapat undangan dari Remaja Masjid di Rejang Lebong dan mereka ingin berdialog di Masjid karena tempatnya luas dan sejuk.
Kami semua yang nonMuslim bersemangat untuk mengikuti acara itu dan karena acaranya di dalam Masjid, maka beramai-ramailah kami memakai jilbab untuk menghormati tempat ibadah umat Islam tersebut.
Kami pun bertanya-tanya tentang tata cara yang baik untuk memasuki Masjid agar jangan sampai ada sikap yang kurang berkenan. Dialog berlangsung secara baik, dan kami bangga bisa memakai jilbab dan membaur dalam diskusi yang hangat.
Beberapa waktu saat bekerja di Aceh, saya pernah menggunakan jilbab untuk keluar dari penginapan dan bertemu teman-teman yang lainnya. Saya memilih memakai jibab agar lebih leluasa berjalan-jalan dan bertemu teman-teman lain tanpa kemudian ada yang menghampiri dan bertanya, apakah saya Muslim atau nonMuslim.
Teman-teman saya tahu bahwa saya nonMuslim dan saya, walaupun tidak terbiasa awalnya, akhirnya malah merasa nyaman-nyaman saja memakai jilbab di saat-saat tertentu. Mungkin karena latar belakang tempat di mana saya tinggal, di mana masyarakat Muslim maupun nonMuslim hidup membaur dengan santainya sambil tetap berpegang pada agama dan kepercayaannya masing-masing.
Di Flores, orang Muslim maupun nonMuslim ikut serta dalam urusan sosial budaya tanpa kekakuan dan ketakutan bahwa akan dipengaruhi imannya oleh tetangganya yang berbeda keyakinan. Di sini sejak bertahun-tahun yang lampau masyarakat telah mengembangkan mekanisme hidup bersama yang harmonis agar tidak menyinggung satu sama lain.
Semisal dalam acara adat atau hajatan tertentu, orang menyediakan meja khusus bagi kaum Muslim. Khusus untuk hajatan besar, jika memungkinkan, yang menyiapkan sajiannya adalah kaum Muslim sendiri yang dengan tata caranya, menyiapkan makanan tersebut (bisa mulai dari membunuh hewan hingga memasak dan menyajikannya, bisa juga saat membunuhnya saja, atau memasaknya saja, dan sebagainya).
Lalu apakah lantas karena hidup membaur ini membuat mereka mengubah keyakinannya? Apakah karena hidup membaur ini membuat iman mereka lemah? Sama sekali tidak! Mereka tetap adalah saudara kami, umat Islam yang taat pada keyakinannya. Yang penting bagi kami adalah bagaimana membangun hidup yang rukun dalam keberagaman ini.
Saya tidak merasa aneh atau kaku berada dalam ruangan yang sama atau malah menemani seorang sahabat Muslim yang sedang sholat. Meski berulang kali mengalami situasi itu, saya toh tidak diharuskan untuk ikut sholat atau merasa harus ikut sholat.
Demikian juga di Flores, dalam acara di mana ada ibadatnya, bisa saja ada orang Muslim yang hadir tapi tidak ikut ibadat-nya. Mereka sekadar ada di sana sebagai saudara yang ikut merasakan kegembiraan atau kedukaan yang dirayakan bersama tanpa mengikuti tata cara ibadatnya.
Sejak dulu seperti itu, dan kami tak pernah mendengarkan seruan-seruan untuk saling benci yang keluar dari tempat-tempat ibadah kami (baik yang Muslim maupun nonMuslim). Jadi tentu saja ketika ada yang mengajarkan kami untuk mendiskriminasi satu sama lain hanya karena perbedaan agama, kami tidak menerima itu.
Jangan ajari kami untuk saling benci. Jangan ajari kami untuk menekankan pada perbedaan karena sebetulnya kepercayaan kita justru banyak kesamaannya. Sebab agama apapun mengajarkan tentang cinta dan damai. Saya meyakini itu. Jadi kalau ada yang mengajarkan kebencian, orang itu perlu dicurigai. Bukan agamanya yang salah, melainkan orang yang menggunakan agama untuk memecah belah kerukunan hidup beragama itu yang perlu dikritisi dan disikapi.
Semoga 2017 menjadi tahun yang lebih toleran dan lebih damai bagi bangsa dan negara ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar